Di antara padatnya perjalanan lintas kota akhir-akhir ini, rute 36.000 MDPL dari Jakarta ke Banda Aceh menjadi ruang sejenak untuk merenung. Setelah sehari beristirahat, aku kembali melanjutkan langkah ke Tanah Rencong. Seperti biasa, kontemplasi dalam kepala mulai bergelombang, mengajak menyelami makna dan hikmah dari setiap tapak yang kulewati.

Menjabat tangan, berbagi kisah, dan menyalakan kembali bara semangat, itulah yang kutemui. Pelajaran demi pelajaran hidup muncul perlahan. Dari senyum sederhana seorang bapak yang duduk termangu di pondokan menanti hujan reda, karena roda kendaraan operasional yang ia kendarai adalah jalan bagi anaknya menuju pendidikan lebih tinggi. Dari seorang pemimpin yang pundaknya ditepuk pelan, tanda bahwa ia tak sendiri dalam memikul amanah. Dari lelaki bujang yang menghubungi kekasih di tanah seberang, sembari merajut mimpi untuk membangun keluarga kecil yang bahagia.

Kisah-kisah itu kutemukan di ruang-ruang kecil, kadang tak terlihat di tengah riuhnya tanggung jawab dan desakan target besar. Di situlah aku melihat wajah-wajah penuh harapan dalam rumah besar bernama “PPA”, tempat di mana mimpi bersama sedang kita rawat dan perjuangkan agar berlabuh di puncak tertinggi.

Aku sering mengibaratkan perjalanan kita seperti menaiki kapal besar. Lampu mercusuar sudah tampak di kejauhan, tapi bangunan kokohnya belum sepenuhnya terlihat. Kapal ini mulai menambah kecepatan, bahkan siap bermanuver menembus badai.

Lalu muncul tanya dalam hati,

“Sudah siapkah aku menyertai misi besar ini?”

“Apakah perbekalanku cukup untuk menghadapi badai dan gelombang di samudra yang luas?”

Dan ketika ragu datang, bayangan wajah-wajah itu kembali hadir, mereka yang tak pernah mengeluh, dengan sorot mata penuh optimisme. Mereka yang kala malam itu bersiap menyambut panggilan tugas, hingga fajar menyingsing. Kepada mereka aku berkata:

“Pak, terima kasih. Terima kasih telah berjuang bersama.”

Terima Kasih yang tulus dan kadang terlupa

“Terima kasih” adalah kata sederhana, namun terlalu sering kita lupa untuk mengucapkannya dari hati.

Mereka, para pejuang dalam barisan ini, mungkin tampak seperti pasukan yang tegap melangkah dengan tatapan fokus ke depan. Tapi di balik formasi rapi itu, mereka menyimpan harapan dan mimpi, yang terkadang bahkan tak sempat mereka ceritakan kepada diri mereka sendiri.

Kita sering luput, bahwa di balik setiap keberhasilan besar, ada jiwa-jiwa tulus yang meninggalkan keluarganya demi tanggung jawab. Demi masa depan anak, demi harapan membangun empang di kampung, atau sekadar punya kambing untuk dipelihara sebagai tabungan untuk anaknya membeli buku saat lulus SD ke SMP. Dengan penuh kerelaan, mereka turut membangun rumah besar ini bersama-sama.

Menjadikan manusia sebagai manusia seutuhnya adalah inti dari nilai yang sejati.

Menghargai mereka dengan hadir, menyapa, atau sekadar memberikan ruang kecil untuk berbagi rindu kepada keluarganya di rumah, itu nilai. Menepuk pundak seraya berkata, “Terima kasih telah menjadi bagian dari keluarga ini. Maafkan bila kami belum sempurna. Yakinlah, kami sedang berusaha memberi yang terbaik. Dan semua ini tak akan mungkin tanpa kerja keras bersama.”

Seorang guru pernah berkata padaku,

“Humility (kerendahan hati) adalah jembatan yang membuat kita mampu terhubung.”

Karena pada akhirnya, yang membekas bukan jabatan atau pencapaian. Tapi nilai dirimu di hati orang lain.

Duduk Bersila, Secangkir Makna. Perjalanan ini bukan sekadar fisik, tapi juga spiritual. Ia menjadi ruang untuk muhasabah diri. Terima kasih untuk orang-orang hebat yang kutemui dalam ruang-ruang sepi. Mungkin namanya tak pernah muncul di papan prestasi, tapi doa-doanya melangit setiap hari.

Mungkin kini saatnya kita menyelami kembali makna “nilai” itu, dengan cara paling manusiawi. Duduk bersila bersama mereka. Secangkir kopi. Obrolan hangat. Tentang mimpi. Tentang langkah. Tentang kita.

Inilah nilai kita.

Bersambung

Jakarta – Banda Aceh,

10 Juni 2025

Rendy Artha

Posted in

Leave a comment