Karya: Rendy Artha


Di kota ini…
lampu-lampu jalan menyala seperti janji yang tak pernah ditepati.
Gedung-gedung menjulang…
menggurat langit, seakan hendak menggapai bintang.
Tapi di kaki gedung itu;
ada orang-orang tidur di tikar kardus,
menggigil dalam mimpi yang patah,
menunggu pagi yang tak selalu ramah.


Kita… sibuk memotret senyum untuk unggahan,
memilih filter yang paling hangat,
menulis caption paling indah…
sementara di sudut lain kota ini;
ada ibu yang meredam lapar anaknya
dengan cerita tentang nasi yang datang besok pagi.


Di negeri yang katanya kaya,
harga kejujuran jatuh di pasar gelap,
integritas dilelang di meja rapat,
dan berita baik…
selalu kalah cepat dari gosip murahan.


Di televisi,
mereka bicara tentang pertumbuhan ekonomi
sambil menyeruput kopi impor.
Di desa,
jalan menuju sekolah retak,
dan anak-anak berjalan tanpa sepatu
menghafal peta negeri
yang tak pernah mereka jelajahi.


Kita saling berdebat tentang benar dan salah
di kolom komentar…
Kita saling mencaci demi pembenaran diri…
Tapi… kita diam;
saat harus menegur ketidakadilan di depan mata.


Kita… mengutuk kegelapan!
Kita… memaki malam!
Tapi kita lupa,
kita lupa menyalakan lampu.


Di jalan-jalan ini,
ada suara teriakan yang tak pernah sampai ke telinga penguasa.
Ada tangan yang terulur tanpa disambut.
Ada janji-janji yang lahir di podium,
lalu mati di meja birokrasi.


Dan di antara riuh ini…
ada sunyi yang panjang.
Sunyi yang menanyakan sesuatu
yang tak berani kita jawab:

Apakah kita…
masih satu bangsa?
Atau kita hanyalah sekumpulan manusia
yang kebetulan tinggal di pulau-pulau yang sama…
mengibarkan bendera yang sama…
tapi hatinya,
sudah lama terpisah?


Jika begitu…
kita tak lagi membutuhkan musuh dari luar.
Kita hanya perlu terus saling diam;
dan kita akan binasa…
pelan-pelan…
tanpa perang…
tanpa ledakan…
hanya oleh lupa…
dan acuh.

Yogyakarta,

17 Agustus 2025

Posted in

Leave a comment