Mengapa trust hanya bisa lahir ketika Human Capital dilihat sebagai pilar strategis, bukan sekadar administratif.

Di banyak perusahaan, Human Capital (HC) masih dianggap fungsi administratif: mengurus kontrak, absensi, hingga payroll. Pandangan ini bukan hanya ketinggalan zaman, tetapi juga berbahaya. Sebab pada kenyataannya, HC adalah pilar strategis yang membentuk arah budaya, kualitas kepemimpinan, hingga keunggulan kompetitif jangka panjang.

Red flag pertama muncul ketika HC hanya menjadi corong kebijakan manajemen. Alih-alih menyeimbangkan kepentingan bisnis dengan kebutuhan karyawan, HC justru terjebak menjadi eksekutor kebijakan yang berpihak pada kepentingan atas. CIPD UK (2023) mencatat, 1 dari 3 karyawan resign karena merasa HC tidak pernah benar-benar membela mereka. Angka ini menunjukkan bahwa ketika fairness diabaikan, trust runtuh, dan saat trust hilang, talenta terbaik pun memilih keluar.

Lebih jauh, banyak perusahaan masih mengambil keputusan promosi, kompensasi, hingga evaluasi kinerja tanpa dasar data yang transparan. Kondisi ini melahirkan bias dan menempatkan talenta di posisi yang keliru. Fenomena Glass Cliff Effect adalah salah satu bukti nyata: individu dari kelompok tertentu sering didorong ke posisi berisiko tinggi, hanya untuk kemudian disalahkan ketika gagal. Padahal, riset McKinsey (2022) menemukan bahwa perusahaan dengan sistem people management berbasis data memiliki peluang 25% lebih tinggi mencapai kinerja finansial di atas rata-rata industri. Transparansi, dengan demikian, bukan sekadar moral imperative, melainkan strategi bisnis yang terukur.

Tetapi yang sering terlupakan adalah: tanggung jawab membangun fairness, trust, dan pertumbuhan tidak bisa hanya ditumpukan pada HC. Setiap pemimpin sejatinya adalah “perpanjangan tangan” HC. HC memang merancang sistem, kebijakan, dan metrik. Namun, implementasi hidup ada di tangan para pemimpin—mereka yang berinteraksi setiap hari dengan timnya. Pemimpin yang hanya fokus pada target angka tanpa memberi ruang pada pengembangan manusia akan gagal membangun trust yang berkelanjutan.

Contoh global membuktikan hal ini. Microsoft, di bawah kepemimpinan Satya Nadella, menempatkan transformasi budaya sebagai strategi inti. HC berperan sebagai mitra strategis yang menyalurkan agenda growth mindset ke seluruh lini kepemimpinan. Hasilnya, Microsoft bangkit kembali sebagai salah satu perusahaan paling bernilai di dunia. Unilever pun menenun agenda keberlanjutan ke dalam sistem people management, menjadikan setiap pemimpin bukan hanya penggerak profit, tetapi juga penjaga keseimbangan people dan planet.

Pelajarannya jelas: HC yang strategis melahirkan leadership yang kredibel. Leadership yang kredibel membangun trust. Trust adalah mata uang paling berharga dalam bisnis modern. Sekali hilang, ia tidak bisa dibeli kembali dengan uang, teknologi, atau strategi apa pun.

Perusahaan harus berani bergeser dari paradigma lama. Human Capital bukan sekadar unit administratif, melainkan pilar strategis sekaligus mitra kepemimpinan. Sebaliknya, leadership sejati tidak boleh mengabaikan peran HC, karena di sanalah terletak kekuatan untuk menjaga fairness, menumbuhkan talenta, dan membangun budaya yang kokoh. HC dan leadership adalah dua sisi mata uang yang sama—dan hanya ketika keduanya berjalan beriringan, organisasi mampu membangun trust, bertahan, dan unggul dalam persaingan jangka panjang.

Banjarbaru, 23 Agustus 2025

Rendy Artha

Posted in

One response to “Human Capital & Leadership: Dua Sisi Mata Uang yang Menentukan Masa Depan Bisnis”

  1. Joko Triraharjo Avatar
    Joko Triraharjo

    Standing applause .. ❤️

    Forum Ekonomi Dunia (WEF) menyebut bahwa perusahaan terpercaya bisa outperform pesaing hingga 400%, menekankan trust sebagai “mata uang baru” untuk pertumbuhan berkelanjutan

Leave a comment