Retak boleh, asal jangan runtuh.
Ada rasa getir yang menyelimuti negeri ini. Jalanan di berbagai kota dipenuhi amarah. Suara rakyat yang seharusnya menjadi nafas demokrasi berubah menjadi jeritan kecewa. Kata-kata pejabat publik yang terdengar arogan justru memperuncing luka, bukannya menenangkan. Suara yang mestinya meneduhkan malah memantik bara. Kita seperti menyaksikan rumah besar bernama Indonesia mulai retak di banyak sisi.
Namun di balik riuh itu, ada kisah yang menghantam nurani. Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring, kehilangan nyawa di tengah demonstrasi setelah terlindas kendaraan polisi. Ia bukan provokator, bukan perusuh. Ia hanya sedang bekerja, mengantar makanan, berusaha mencari nafkah, ingin pulang dengan selamat. Tetapi ia tidak pernah kembali. Tragedi ini menjadi cermin pahit: rakyat kecil selalu yang paling rentan, dan sering kali menjadi korban pertama ketika negara gagal menjaga ruang amannya.
Kemarahan kolektif yang meledak hari ini bukanlah amarah seketika. Ia lahir dari kehilangan panjang: kehilangan rasa percaya, kehilangan rasa aman, kehilangan arah. Orang-orang turun ke jalan bukan semata karena satu isu, melainkan karena luka yang sudah lama dibiarkan terbuka. Luka yang tak pernah diobati akhirnya pecah menjadi letupan. Dan dalam kerumunan, nalar sering hilang, nurani teredam, emosi mengambil alih. Dari situlah kerusakan dan tragedi lahir.
Kini, situasi semakin runyam. Aksi yang awalnya diniatkan untuk menyuarakan aspirasi berubah menjadi penjarahan. Toko-toko dijarah, fasilitas publik dirusak, bahkan rumah pejabat pun ikut menjadi sasaran amarah massa. Hal ini jelas tidak bisa dibenarkan. Karena perusakan dan penjarahan, siapa pun korbannya—entah rakyat biasa atau pejabat—tidak pernah menyelesaikan masalah, justru menambah luka. Rakyat kehilangan ruang aman, pedagang kehilangan mata pencaharian, dan bangsa kehilangan martabatnya.
Luka itu semakin telanjang ketika kita melihat ruang hidup bersama direnggut oleh amarah. Setiap halte yang dibakar, setiap gedung yang porak-poranda, setiap jalan yang diselimuti asap, adalah tanda bahwa kota tak lagi ramah bagi warganya. Ruang publik yang seharusnya menjadi tempat bertemu, bercakap, dan beristirahat kini berubah menjadi arena pertempuran. Yang rusak bukan hanya bangunan, tetapi makna: negeri ini terasa bukan lagi rumah yang melindungi, melainkan ruang yang mengkhianati penghuninya.
Pertanyaan mendasar pun harus kita ajukan: apakah semua ini jalan menuju perbaikan, atau justru lorong menuju kehancuran? Apakah kita sungguh sedang berbenah, atau hanya melampiaskan amarah dengan merobohkan rumah kita sendiri? Sejarah sudah mengingatkan: ketika amarah dibiarkan tanpa arah, yang tersisa hanyalah puing, air mata, dan penyesalan. Tahun 1998 menjadi saksi—betapa mudah bangsa kehilangan kendali, betapa mahal ongkos yang harus dibayar, dan betapa panjang waktu yang dibutuhkan untuk pulih kembali.
Berbenah memang mendesak. Tetapi berbenah bukan berarti membakar. Marah boleh, kecewa itu wajar, menuntut keadilan adalah hak. Namun energi itu harus diarahkan agar rumah besar Indonesia tetap berdiri. Luka jangan dibiarkan menjelma kebencian, kehilangan jangan berubah menjadi kehancuran. Api yang menyala harus menghangatkan bangsa, bukan melahapnya.
Tragedi Affan adalah pengingat keras bagi kita semua. Ia bukan sekadar angka dalam berita, melainkan wajah jutaan rakyat kecil yang hanya ingin hidup dengan tenang, bekerja dengan aman, dan pulang tanpa rasa takut. Hidupnya sederhana, tetapi kepergiannya meninggalkan pesan besar: negeri ini sedang salah arah. Dan tugas kita bersama—baik masyarakat maupun pejabat publik—adalah memastikan tragedi serupa tidak lagi terulang.
Namun untuk itu, ada satu kunci: menahan diri. Jangan biarkan amarah yang lahir dari luka dipelintir menjadi alat bagi mereka yang haus kekacauan. Jangan biarkan provokasi menjerumuskan kita untuk saling mencurigai, apalagi saling menyakiti. Jangan izinkan penjarahan—baik di jalanan, fasilitas publik, toko rakyat kecil, maupun rumah pejabat—menodai perjuangan yang sejatinya lahir dari nurani. Perlawanan tanpa kendali bukan lagi perjuangan, melainkan kehancuran.
Kepada para pemimpin, dengarkanlah rakyat dengan rendah hati, jangan biarkan kata-kata arogan memperuncing luka. Kepada aparat, lindungilah rakyatmu, jangan sampai mereka yang hanya ingin pulang bekerja justru pulang tinggal nama. Dan kepada seluruh masyarakat, mari kita saling menjaga. Jangan mudah terprovokasi. Jangan izinkan segelintir orang yang tidak bertanggung jawab menunggangi aspirasi kita.
Indonesia memang sedang sakit. Tetapi luka ini jangan dibiarkan menjadi jurang yang memisahkan. Justru di saat seperti ini, kita harus kembali pada yang paling mendasar: nurani, hati, dan kemanusiaan. Kita boleh marah, boleh kecewa, boleh menuntut. Tetapi semua itu harus tetap dalam kendali akal sehat, cinta pada negeri, dan tanggung jawab untuk menjaga rumah bersama.
Jangan biarkan retak berubah menjadi runtuh, jangan biarkan luka berubah menjadi jurang. Negeri ini adalah rumah, dan rumah ini milik kita semua.
Indonesia memang perlu berbenah. Tapi jangan sampai kita sendiri yang menghancurkannya.
Jakarta, 31 Agustus 2025
Rendy Artha

Leave a comment