Mengapa paradigma lama bertahan dan bagaimana people data analytics membuka jalan bagi peran strategis HC.

Di ruang-ruang rapat manajemen puncak, bahasa yang menguasai percakapan adalah angka. Direktur keuangan menampilkan proyeksi margin, tim pemasaran membawa laporan pertumbuhan pasar, sementara unit operasi menunjukkan model prediksi produksi berbasis data real-time. Semua bicara dalam bahasa strategi: kuantitatif, terukur, dan prediktif. Lalu giliran Human Capital (HC). Yang muncul sering kali hanya laporan absensi, daftar pelatihan, dan update administratif. Di hadapan dewan direksi yang menuntut data untuk setiap keputusan, HC tampak seperti tamu yang berbicara bahasa berbeda.

Inilah dilema klasik. Padahal sejak era Resource-Based View (Barney, 1991), ilmu manajemen telah menegaskan bahwa manusia adalah aset strategis yang sulit ditiru pesaing. Disusul kemudian dengan konsep Dynamic Capabilities (Teece, 2007) yang menyatakan bahwa keunggulan kompetitif hanya bisa dipertahankan bila organisasi mampu mengadaptasi, mengintegrasikan, dan membangun kompetensi baru—sesuatu yang sangat bergantung pada modal manusia. Namun teori sekuat apa pun tak akan berdampak bila praktiknya di perusahaan masih menempatkan HC dalam ranah birokrasi.

Kenapa hal ini bertahan? Jawabannya terletak pada cara organisasi menilai kontribusi. Fungsi yang tidak terlihat langsung menghasilkan pendapatan dianggap sekunder. Sales/ operation disebut motor pertumbuhan, finance penjaga modal, sementara HC sering dianggap cost center. Padahal riset Gallup (2022) menunjukkan bahwa perusahaan dengan engagement karyawan tinggi mampu menghasilkan profitabilitas 23% lebih besar dibanding kompetitor. Tetapi, karena dampaknya tidak disajikan dalam angka yang kasat mata di laporan triwulanan, kontribusi HC terus dianggap samar.

Masalah semakin kompleks karena HC sendiri sering tenggelam dalam rutinitas administratif. Deloitte Human Capital Trends (2023) menemukan bahwa 60% departemen HC di seluruh dunia masih menghabiskan energi lebih banyak pada administrasi dibanding strategi. Ini membuat stigma administratif bukan hanya warisan sejarah, tetapi realitas yang dipelihara.

Namun, arah mulai berubah. Disiplin People Data Analytics muncul sebagai pengubah permainan. Inilah disiplin yang memungkinkan HC berbicara dengan bahasa yang sama dengan bisnis—angka, prediksi, ROI. McKinsey (2022) mencatat, perusahaan yang mengintegrasikan people analytics dalam pengambilan keputusan memiliki peluang 25% lebih tinggi mencapai kinerja finansial di atas rata-rata industri. Data bukan sekadar mendokumentasikan masa lalu, tetapi memprediksi masa depan: siapa yang berisiko resign, tim mana yang rawan konflik, keterampilan apa yang paling dibutuhkan lima tahun ke depan.

Kasus Google sering dikutip karena relevansinya. Melalui Project Oxygen, Google membuktikan lewat data bahwa manajer yang efektif bukan ditentukan oleh IQ atau latar belakang teknis semata, melainkan oleh perilaku sederhana seperti memberi feedback berkualitas, mendengarkan tim, dan mendukung pengembangan individu. Insight ini bukan hasil asumsi, melainkan analisis bertahun-tahun atas data karyawan, yang kemudian membentuk program kepemimpinan Google hingga kini.

Contoh lain datang dari DBS Bank di Singapura, yang disebut-sebut sebagai “The World’s Best Digital Bank”. Mereka menggunakan people analytics untuk mengukur adopsi keterampilan digital di seluruh cabang. Hasil analisis menunjukkan cabang dengan tingkat pelatihan digital rendah memiliki kinerja bisnis yang lebih buruk. Dari insight ini, mereka bisa melakukan intervensi pelatihan lebih dini—bukan sekadar menyalahkan cabang saat gagal mencapai target.

Di Indonesia, beberapa perusahaan juga mulai bergerak. Sebuah perusahaan tambang batubara besar, misalnya, mengembangkan dashboard talent analytics yang menghubungkan data engagement karyawan dengan tingkat kecelakaan kerja. Temuannya mengejutkan: area dengan engagement rendah ternyata memiliki insiden keselamatan lebih tinggi. Insight ini membuat direksi mengubah pendekatan dari sekadar compliance training menjadi program penguatan kepemimpinan dan engagement berbasis data. Hasilnya, angka kecelakaan menurun signifikan dalam dua tahun.

Semua contoh ini menunjukkan satu hal: tanpa data, HC akan selalu dipandang administratif. Dengan data, HC berubah menjadi navigator strategi. People analytics memungkinkan organisasi melihat manusia bukan sebagai biaya, tetapi sebagai aset yang bisa diukur kontribusinya terhadap laba, risiko, dan keberlanjutan.

Risiko bila HC tetap terjebak administrasi jelas: talenta terbaik keluar tanpa terdeteksi, trust karyawan rapuh karena kebijakan dianggap bias, pipeline kepemimpinan melemah, produktivitas bocor, dan inovasi terhambat. Dalam jangka panjang, biaya yang ditanggung organisasi jauh lebih mahal daripada sekadar gaji atau benefit—yaitu hilangnya daya saing.

Sebaliknya, ketika HC mampu membuktikan nilainya dengan data, narasinya berubah total. Dari birokrat internal menjadi arsitek budaya. Dari pengurus dokumen menjadi mitra kepemimpinan. Dari cost center menjadi value creator. Itulah transformasi yang membedakan perusahaan yang sekadar bertahan dari yang benar-benar memenangkan masa depan.

Pada akhirnya, kepemimpinan adalah infrastruktur tak terlihat yang menentukan masa depan bisnis. Organisasi tidak bisa hanya berharap pemimpin lahir secara organik, atau sekadar mengandalkan intuisi dalam promosi. Leadership pipeline harus dibangun dengan fondasi data.

People data analytics memberi HC kemampuan untuk mengidentifikasi siapa talenta yang berpotensi menjadi pemimpin, kompetensi apa yang masih kurang, hingga intervensi apa yang paling efektif untuk mempercepat kesiapan mereka. Dengan data, pipeline kepemimpinan bukan lagi daftar nama di atas kertas, melainkan peta yang hidup—dinamis, terukur, dan bisa diproyeksikan ke depan.

Di sinilah HC keluar dari jerat administrasi. Bukan hanya mengelola dokumen karier, tetapi menyiapkan generasi pemimpin yang dapat dipercaya, relevan dengan tuntutan zaman, dan mampu menjaga daya saing organisasi dalam jangka panjang.

Bandung, 7 September 2025

Rendy Artha

Posted in

Leave a comment