Ada sebuah percakapan yang sering terlintas kembali dalam ingatan saya—perlahan, menekan, tapi penuh makna. Seorang staf muda yang saya kenal cukup berbakat berkata, “Gajiku sudah cukup, Pak… tapi entah kenapa, aku merasa tidak bertumbuh.” Ia mengucapkannya dengan senyum kecil yang tidak benar-benar meyakinkan siapa pun, termasuk dirinya sendiri. Dalam sekejap, saya tahu yang ia rasakan bukan soal jumlah uang yang kurang, melainkan ruang untuk menjadi lebih yang tak kunjung ditemukan.

Semakin lama saya bekerja dengan berbagai para profesional, mulai dari operator alat berat hingga para eksekutif yang memegang keputusan strategis, saya makin sadar bahwa hampir semua orang pernah berada di momen itu—momen ketika gaji berjalan dengan benar, tapi makna pekerjaan justru menjauh. Kita sibuk mengejar angka, tapi lupa mengejar diri sendiri. Kita patuh pada target, tapi diam-diam kehilangan rasa menjadi manusia yang ingin didengar, dihargai, dan berkembang.

Ilmu pengetahuan modern sebenarnya sudah lama memberi petunjuk bahwa manusia tidak hidup hanya dari kompensasi finansial. Herzberg melalui Motivation-Hygiene Theory menegaskan bahwa gaji memang penting untuk mencegah ketidakpuasan, tetapi tidak mampu menciptakan kepuasan jangka panjang. Maslow dengan piramida kebutuhannya menunjukkan bahwa uang hanya memenuhi kebutuhan dasar, sementara rasa berkembang, dihargai, dan bermakna berada di tingkat yang jauh lebih tinggi. Deci dan Ryan melalui Self-Determination Theory bahkan membuktikan bahwa manusia hanya tumbuh secara optimal ketika tiga kebutuhan psikologisnya terpenuhi: otonomi, kompetensi, dan keterhubungan.

Maka tidak heran bila banyak organisasi modern mulai memahami bahwa memberi gaji bukanlah tujuan akhir. Memberi gaji hanyalah fondasi. Manusia bekerja bukan hanya untuk memenuhi hidupnya, tetapi untuk merasa hidup.

Di sinilah Total Rewards menemukan relevansinya. Bukan sekadar paket kompensasi, bukan sekadar tunjangan atau insentif, tetapi sebuah filosofi menyeluruh tentang bagaimana organisasi memandang manusia. McLean & Company (2021) menempatkan Total Rewards sebagai strategi besar yang menyatukan kompensasi, benefit, wellbeing, recognition, dan development dalam satu kerangka yang saling menguatkan. Deloitte Human Capital Trends (2023) bahkan menunjukkan bahwa organisasi yang merancang Total Rewards dengan tepat memiliki engagement karyawan lebih dari empat kali lipat dibanding perusahaan yang hanya fokus pada gaji. Angka-angka itu tidak muncul dari teori kosong—ia lahir dari realitas bahwa manusia hanya dapat memberikan yang terbaik ketika mereka merasa utuh.

Namun Total Rewards tidak pernah sekadar tentang kebijakan. Ia adalah seni merancang ekosistem yang membuat manusia ingin bergerak, bukan karena diperintah, melainkan karena merasa dihargai. Dalam sudut pandang organisasi, seni ini dimulai dari bagaimana kompensasi dirancang dengan adil, transparan, dan masuk akal. Trevor & Wazeter dari Cornell University (2020) menemukan bahwa transparansi sistem kompensasi meningkatkan produktivitas hingga 15%. Ketika seseorang paham mengapa ia dibayar segitu, ia bekerja dengan perasaan aman. Ketika ia merasa aman, ia lebih berani.

Benefit juga tidak lagi dilihat sebagai tambahan, melainkan penyangga keberlanjutan performa. Asuransi kesehatan, perlindungan risiko, dukungan keluarga, dan fasilitas penunjang kerja memberi rasa aman psikologis—sesuatu yang menurut Amy Edmondson dari Harvard (2018) menjadi prasyarat utama bagi inovasi. Seseorang tidak akan berani mencoba hal baru jika takut gagal. Benefit yang tepat menghilangkan ketakutan itu.

Wellbeing, dalam kacamata organisasi bukan sekadar program kebugaran, melainkan bagaimana perusahaan menciptakan ruang kerja yang sehat secara manusiawi: beban kerja yang wajar, ritme yang realistis, hubungan kerja yang saling menghormati, dan budaya yang memberi arah. Di Microsoft, Unilever, dan Patagonia, wellbeing bukanlah agenda HR—melainkan strategi bisnis.

Recognition menjadi bahasa emosional organisasi. Gallup (2022) menyebutkan bahwa pengakuan adalah alat kepemimpinan paling efektif namun paling jarang digunakan. Padahal satu apresiasi tulus dapat menaikkan discretionary effort hingga 30%. Di medan tambang yang keras, satu kalimat “kerja bagus” bisa menjadi perbedaan antara seseorang yang hanya memenuhi target dan seseorang yang rela berlari sedikit lebih jauh.

Sementara development adalah fondasi masa depan. Peter Drucker pernah mengingatkan bahwa organisasi yang berhenti mengembangkan manusianya sedang menuju akhir. Dunia berubah terlalu cepat untuk mempertahankan cara lama. Karyawan yang berkembang menciptakan organisasi yang berkembang. Dan organisasi yang berkembang menciptakan masa depan yang lebih aman bagi semua orang di dalamnya.

Namun seluruh konsep ini tidak akan pernah bekerja tanpa keberadaan leader sebagai jembatan makna. Kebijakan Total Rewards bisa saja sempurna, tetapi karyawan tidak merasakannya melalui dokumen—mereka merasakannya melalui perlakuan atasan setiap hari. Leader lah yang menjelaskan, menguatkan, menerjemahkan, dan memastikan nilai kebijakan itu sampai ke hati timnya. Sebuah riset Gallup (2021) menunjukkan bahwa 70% variasi tingkat engagement karyawan ditentukan oleh kualitas leader langsungnya. Leader lah yang menentukan apakah Total Rewards hidup atau mati.

Itulah mengapa organisasi yang matang tidak hanya merancang kebijakan, tetapi membangun kultur kepemimpinan yang mampu membuat kebijakan itu berdenyut. Leader yang memahami filosofi Total Rewards melihat manusia bukan sebagai resource, tetapi sebagai energi utama yang menggerakkan organisasi. Mereka menjadi katalis, bukan hanya pengawas. Mereka menciptakan ruang dialog, bukan sekadar daftar instruksi. Mereka memastikan bahwa setiap orang merasa didengar, diberi tantangan, dan disiapkan untuk tumbuh. Total Rewards yang hebat tidak mungkin berhasil tanpa leadership yang humanis.

Di sisi lain, karyawan dan profesional juga memiliki peran penting dalam memaknai Total Rewards. SHRM (2022) menemukan bahwa alasan utama seseorang bertahan di sebuah perusahaan bukan gaji, tetapi peluang berkembang, hubungan yang sehat dengan atasan, rasa dihargai, dan tim yang solid. Profesional yang matang memandang Total Rewards bukan hanya sebagai “apa yang saya dapatkan”, tetapi sebagai “bagaimana organisasi sedang membentuk saya menjadi versi terbaik dari diri saya.” Ketika seorang karyawan mampu melihat Total Rewards sebagai bagian dari perjalanan pertumbuhan dirinya, bukan sekadar insentif, ia mulai bekerja bukan hanya untuk menerima, tetapi untuk menjadi.

Dan pada akhirnya, semua ini membawa kita kembali pada pertanyaan paling manusiawi: apa arti bekerja bagi kita? Jika kita hanya bekerja demi gaji, kita mungkin memenuhi kebutuhan dasar, tetapi kita tidak memberi ruang bagi potensi kita untuk tumbuh. Namun jika kita melihat pekerjaan sebagai arena bertumbuh, dihargai, berkembang, dan berkontribusi, maka gaji bukan lagi satu-satunya alasan kita bertahan—ia menjadi bonus alami dari nilai yang kita bangun.

Organisasi yang cerdas merancang Total Rewards untuk menyalakan potensi. Leader yang cerdas menjadikan dirinya oksigen yang membuatnya hidup. Profesional yang cerdas memaknainya sebagai kesempatan membangun diri. Di titik temu inilah budaya terbaik lahir—budaya yang tidak hanya menuntut hasil, tetapi juga menumbuhkan manusia.

Karena pada akhirnya, yang membuat hidup profesional berarti bukan angka yang kita terima, tetapi bagaimana kita bertumbuh di dalamnya, dan bagaimana kita menemukan diri yang lebih besar dari hari kemarin.

Dan mungkin, di situlah letak keindahan terbesar dari bekerja: bahwa setiap hari kita diberi kesempatan bukan hanya untuk mencari nafkah, tetapi untuk membangun diri. Bukan hanya untuk memenuhi target, tetapi untuk memperluas kapasitas kita sebagai manusia. Bukan hanya untuk menerima gaji, tetapi untuk meninggalkan jejak dan legacy.

Ketika organisasi merancang dengan hati, leader memimpin dengan nurani, dan karyawan bekerja dengan kesadaran untuk tumbuh, maka pekerjaan berubah menjadi lebih dari sekadar rutinitas. Ia menjadi perjalanan menuju versi terbaik diri kita. Sebuah perjalanan yang membuat kita pulang setiap hari dengan perasaan bahwa apa pun yang kita lakukan—sekecil apa pun—telah membawa kita selangkah lebih dekat pada hidup yang penuh makna.

Dan pada titik itu, gaji hanyalah angka.
Tetapi nilai diri—itulah yang akan terus hidup jauh setelah slip gaji kita dilupakan.

Jakarta, 23 November 2025

Dengan secangkir kopi setelah olahraga pagi,

Rendy Artha

Posted in

3 responses to “Di Balik Angka Gaji: Seni Merancang Total Rewards yang Menggerakkan Manusia”

  1. Wahid Pramono Avatar
    Wahid Pramono

    Sebagai Manusia Selain Rewards, Juga ada Membangun Kontsruksi mental Negatif untuk menumbuhkan semangat motivasi Tumbuh dalam mencapai Target, namun tetap Dalam Pemantauan Pimpinan dalam Evaluasi Penugasan, Arahan, Pendampingan dan membangun hubungan Positif di setiap Keputusan yang di ambil oleh Bawahannya

  2. boi Avatar
    boi

    “banyak belum tentu cukup, sedikit belum tentu kurang?!”

  3. Yandi Aziz Avatar
    Yandi Aziz

    Artikel ini menyajikan pandangan yang sangat kuat tentang makna bekerja dan bagaimana organisasi seharusnya memandang manusia di dalamnya.
    Cerita awalnya membuat pembaca langsung terhubung, lalu dibawa pelan-pelan menuju pemikiran yang lebih luas tentang Total Rewards sebagai pendekatan yang menyentuh kebutuhan manusia secara menyeluruh, bukan hanya soal gaji. Penekanannya pada peran leader juga tepat, karena pada akhirnya, kebijakan hanya hidup kalau diterjemahkan dengan baik oleh pemimpinnya.
    Tulisan ini ringkas, dalam, dan membuka perspektif baru tentang bagaimana sebuah organisasi bisa menumbuhkan orang-orangnya.

Leave a comment